Tomcat-Patogen yang menyerang jeruk sering tidak menimbulkan gejala, tetapi menyebabkan risiko kematian. Virus serta patogen lainnya yang menyerang jeruk di Indonesia adalah tristeza, psorosis, exocortis, cachexia serta citrus vein phloem degeneration/CVPD (Huang Lungbin). Eliminasi virus merupakan langkah strategis untuk produksi induk bebas penyakit yang menghasilkan benih bermutu tinggi Teknologi eliminasi atau pembersihan tanaman jeruk yang terinfeksi penyakit pada awalnya dilakukan oleh Navarro et al. (1975) dengan metode yang disebut shoot tip grafting (STG), yaitu dengan menyambung batang bawah berumur 2 minggu dengan batang atas berupa jaringan meristem berukuran 0,14–0,18 mm secara in vitro. Tanaman hasil STG yang telah tumbuh, diaklimatisasikan dan bila pertumbuhannya telah mencapai ukuran yang optimal, tanaman dapat diambil sampel daunnya untuk diindeksing kandungan penyakitnya.
Teknologi ini sampai sekarang masih digunakan dengan berbagai modifikasi. Dari berbagai penelitian, didapat bahwa pembersihan melalui teknologi sambung meristem in vitro tersebut, terbukti secara efektif dapat mengeliminasi semua penyakit jeruk yang berasal dari patogen yang terbawa pada saat proses penyambungan, walaupun tingkat keberhasilan bervariasi antara 60% (tatterleaf, psorosis) sampai 100% (citrus viroids, S. citri), sedangkan untuk citrus tristeza virus (CTV) di Pakistan keberhasilannya lebih dari 90% (Abbas et al. 2008). Dikombinasikan dengan pemanasan, metode ini juga berhasil mengeliminasi ICRsV (indian citrus ringspot virus) pada jeruk cv Kinnow (C. nobilis x C. deliciosa Tenora) (Sharma et al. 2007).
Di Indonesia, teknologi penyambungan meristem diaplikasikan pada pelaksanaan program penyediaan benih jeruk bebas penyakit sejak tahun 1985. Selain di Indonesia, metode ini juga dikembangkan di berbagai sentra produksi jeruk di dunia seperti China (Ruilin et al. 1996), Pakistan (Naz et al., 2007), Italy (Continella et al. 1997) dan Cyprus (Kapari-Isaia et al. 2002). Selain pada tanaman jeruk, metode penyambungan meristem juga diterapkan pada tanaman aprikot (Deogratias et al. 1991), kapas (Luo & Gould 1999), Prunus avium L. (cherry) var. Seeyahe Mashad (Amiri 2006), anggur (Duran et al. 1988), manggis (Chabukswar & Deodhar 2006) serta apel dan pir (Toma & Mosleh 2010).
Selama dua dekade terakhir, metode ini telah diterapkan di Indonesia, tetapi ditemukan dua masalah penting, yaitu tingkat keberhasilan tanaman yang tumbuh masih relatif rendah, yaitu hanya mencapai 23% dan 34% untuk masing-masing tanaman hasil sambung yang dorman dan berkembang normal (Triatminingsih et al. 1992 & Devy et al. 1995). Masalah lain adalah lamanya pertumbuhan tanaman regrafting di rumah pembibitan untuk diambil daunnya sebagai bahan pengujian indeksing. Umumnya tanaman akan mempunyai jumlah daun berkisar antara 10–15 buah dalam waktu 6–8 bulan setelah regrafting.
Untuk itu perlu upaya perbaikan teknologi agar
ketersediaan benih induk jeruk bebas penyakit lebih banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat.
Namun, penelitian untuk meningkatkan persen
keberhasilan sambung meristem ini belum banyak yang
dipublikasikan. Dari publikasi yang ada, peningkatan
keberhasilan dapat diupayakan dengan penambahan
kadar sukrose (Naz et al. 2007) dan zat pengatur
tumbuh BA pada media pertumbuhan (Abbas et al.
2008), perlakuan perendaman shoot pada larutan 2,4
D atau Kinetin sebelum grafting (Edriss 1984) serta
dengan penggunaan batang bawah yang beragam
(Sertkaya 2004, Ekta & Jogdande 2008).
Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini
Sumber : Litbang Kementan RI
No comments :
Post a Comment