Saturday, May 23, 2015

Deteksi Dini Penyakit Daun Kipas (Grapevine Fanleaf Virus) dan Perbedaan Gejala Pada Tiga Varietas Anggur

Tomcat-Tanaman anggur merupakan tanaman yang berasal dari negara subtropika dan sudah beradaptasi di Indonesia sejak tahun 1880. Anggur merupakan salah satu buah-buahan yang banyak disukai konsumen dalam bentuk segar maupun olahan. Tanaman anggur sudah cukup lama diusahakan oleh petani Indonesia terutama di daerah Jawa Timur sejak tahun 1882 (Winarno 1991). Saat ini komoditas anggur sangat potensial untuk dikembangkan mengingat impor buah-buahan subtropika membanjir di Indonesia. Pengembangan komoditas ini di Indonesia diharapkan akan menghemat devisa negara. Perkembangan neraca perdagangan kelompok buah segar secara umum mengalami defisit. Pada tahun 2008–2012 produksi buah anggur di Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 14,87% (Badan Pusat Statistik& Dirjen Hortikultura 2012).

Perkembangan anggur di Indonesia cukup potensial, jenis yang digemari adalah Vitis vinifera dan V. labrusca. Dalam pengembangan komoditas, organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang menggagalkan panen perlu dicermati. Akhir-akhir ini ditemukan gejala penyakit virus kipas pada tanaman anggur yang diduga disebabkan oleh grapevine fanleaf virus (GFLV). Gejala penyakit tersebut pernah ditemukan di sentra anggur Probolinggo dan Bali (Dwiastuti& Nurhadi 1986). Selain itu Purnomo (1987) menyatakan bahwa gejala penyakit GFLV ini ditemukan di berbagai sentra produksi anggur Indonesia. Menurut Andret-Link et al. (2004) penyakit ini menyebabkan penurunan hasil sampai 80%, memperpendek umur produksi, dan mempercepat kematian tanaman, dan menurut Sutic et al. (1999), penyakit ini mampu mengurangi kemampuan pengakaran dan kompabilitas sambungan. Menurut Bos (1983) GFLV tergolong dalam kelompok nematode transmitted polyhedral virus atau nepovirus. Hubungan antara nematoda dan virus yang ditularkannya bersifat sangat spesifik (Taylor & Brown 1997), tetapi tidak ditemukan korelasi antara insiden virus di lapangan dengan jumlah nematoda vektor potensial yang menyebabkan penyakit (Ploeg et al.1996).

Di Indonesia belum pernah dilakukan tindakan pengendalian terhadap penyakit GFLV meskipun kerugian akibat penyakit ini cukup besar, hal ini terjadi karena petani dan petugas pertanian kesulitan mendeteksi secara dini terhadap gejala penyakit ini. Hal ini disebabkan karena terjadinya kerancuan gejala dengan gejala keracunan senyawa kimia oleh pestisida atau gejala akibat serangan hama trips dan defisiensi unsur hara (Pearson & Goheen 1998). Metode deteksi yang dilakukan saat ini secara umum meliputi penularan virus dari tanaman terinfeksi ke tanaman sehat, melalui okulasi atau penyambungan atau dengan mengolesi permukaan daun yang sehat dengan cairan (sap) tanaman terinfeksi (Agrios 2005). Deteksi penyakit yang disebabkan oleh virus pada anggur juga dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap batang atas yang telah berkayu, disambungkan pada batang bawah tanaman indikator dengan pengamatan selama periode deteksi sampai 3 tahun. Metode memerlukan waktu dan tenaga yang banyak. Metode deteksi secara molekuler telah dikembangkan menggunakan jaringan tanaman (Rowhani et al. 1993) atau menggunakan penanda probe untuk mendapatkan isolat spesifik GFLV pada nematoda vektor (Finetti-Sialer & Ciancio 2005), demikian juga deteksi melalui serologi menggunakan bagian tanaman terinfeksi atau nematoda vektor dengan Biotin-Avidin ELISA (Esmenjaud et al. 1993). Deteksi dengan metodemetode tersebut perkembangannya masih terbatas dengan biaya yang tinggi sehingga diperlukan metode lain yang cepat, akurat, sederhana, dan murah.

Metode deteksi dini yang relatif baru adalah dengan green grafting, yaitu penyambungan yang dikerjakan dengan batang bawah anggur yang diperoleh dari pertanaman sebelumnya (Jensen et al. 1998). Metode ini banyak dikembangkan untuk mengetahui infeksi penyakit pada hasil perbanyakan vegetatif anggur, karena mampu mendiagnosis gejala penyakit secara lebih cepat dibandingkan dengan indeksing lapangan menggunakan tanaman indikator berkayu. Menurut Rowhani (2005) belum ada metode deteksi penyakit virus pada anggur yang lengkap dan mendalam, masing-masing metode mempunyai kelemahan.

Di dalam perbanyakan bibit anggur, penangkar harus mengetahui gejala penyakit yang disebabkan oleh virus pada masing-masing varietas secara cermat. Hal ini diperlukan untuk melakukan tindakan pengendalian secara tepat. Gejala penyakit yang disebabkan oleh virus bervariasi pada jenis dan kerusakan yang ditimbulkannya. Gejala infeksi virus terkait dengan jenis virus, kepekaan varietas, dan interaksi dengan lingkungan (tanah dan iklim) (Gambino et al. 2010).
Gejala penyakit GFLV yang spesifik tiap varietas belum banyak diketahui.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

No comments :

Post a Comment