Tomcat-Kentang (Solanum tuberosum) merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai arti penting bagi masyarakat, baik dilihat dari nilai ekonominya yang tinggi maupun dari kandungan gizinya. Dalam dekade terakhir, permintaan kentang untuk konsumsi dan bibit dalam negeri mengalami peningkatan. Permintaan akan kentang yang terus meningkat, perlu diimbangi dengan peningkatan produksi kentang. Salah satu permasalahan dalam meningkatkan produksi kentang di Indonesia adalah serangan hama dan penyakit yang selalu ada. Salah satu hama penting pada tanaman kentang adalah orong-orong, Gryllotalpa hirsuta (Orthoptera: Gryllotalpidae).
Sejak 3 tahun terakhir, orong - orong menjadi hama penting pada tanaman kentang dan dapat menyebabkan kehilangan hasil sebesar 40%, sedangkan pada tanaman barley menyebabkan kehilangan hasil sebesar 50% (Ramachandran & Sagar 1996). Selain menyerang tanaman kentang, orong-orong juga dapat menyerang berbagai jenis tanaman seperti tanaman pangan (padi, jagung, gandum, barley, dan sorgum), sayuran (kentang, kubis, tomat, wortel, kubis bunga, lettuce, bayam, terung, paprika, dan kacang - kacangan), buah-buahan, tanaman hias dan berbagai rerumputan (Kim 2000, Al- Jassany & Al-Joboory 2013). Hama ini dapat merusak tanaman pada berbagai fase tumbuh. Benih yang ada di persemaian pun tak luput dari serangan hama orongorong. Menurut Konar et al. (2005) kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh serangan G. africana berkisar antara 5,0–6,0% dan kerusakan umbi kentang berkisar antara 10–15%, selanjutnya Dewi (2012) melaporkan bahwa intensitas serangan G. hirsuta dapat mencapai 20% dari umbi kentang yang dipanen. Kehilangan hasil yang diakibatkan oleh OPT akan berbeda bergantung pada lokasi, musim, waktu tanam, komposisi dan kelimpahan hama, varietas yang digunakan serta faktor biotik lainnya (Ajala et al. 2010, Okweche et al. 2010).
Masalah utama dalam pengendalian G. hirsuta adalah penentuan waktu yang tepat, karena biasanya pada siang hari berada dalam tanah dan aktif pada malam hari (Setiawati et al. 2014). Selain itu populasi G. hirsuta di lapangan sangat dipengaruhi oleh musim dan perubahan tinggi rendahnya curah hujan yang berkaitan dengan kelembaban tanah. Hal ini dapat diketahui baik dari hamanya sendiri maupun tingkat kerusakan yang ditimbulkannya (Al-Jassany & Al- Joboory 2013, Setiawati et al. 2014). Oleh sebab itu, beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengendalian hama G. hirsuta antara lain tingkat populasi, kerusakan tanaman, stadia tanaman, dan iklim atau musim. Hal ini akan memengaruhi kehilangan hasil yang diakibatkannya.
Penilaian pengaruh tingkat kerusakan terhadap kehilangan hasil akibat serangan hama dapat mengungkapkan pengaruh infestasi hama, tingkat populasi hama, dan status ekonomi hama yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan tingkat kerusakan ekonomi dan atau ambang ekonomi yang akan memengaruhi tingkat penggunaan insektisida di dalam pengendalian hama sehingga rasional.
Gryllotalpa hirsuta menghabiskan hampir seluruh hidupnya di bawah permukaan tanah, oleh sebab itu pengendalian yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan insektisida yang mempunyai sifat sistemik dan broad spectrum. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa insektisida karbofuran efektif untuk mengendalikan serangga tanah termasuk G. hirsuta (Konar & Paul 2005, Konar et al. 2011, Al-Jorany & Sadik 2012) pada tanaman sayuran, padi, pisang, barley, kopi, dan tanaman hias (Otieno et al. 2010).
Karbofuran (2,3-dihidro-2,2–dimetil–7 benzofuranil metil karbamat) merupakan insektisida dari golongan karbamat, bekerja sebagai racun kontak dan lambung, bersifat sistemik serta berbentuk granul. Selain sebagai insektisida, karbofuran juga dapat digunakan sebagai nematisida. Nilai LD50 karbofuran sebesar 8–11 mg/ kg (tikus), 0,238 mg/kg (burung) dan sebesar 5,62 mg/ kg (bebek) (Mineau 2001).
Semakin intensifnya penggunaan insektisida karbofuran telah nyata pula mengakibatkan pengaruh negatif terhadap lingkungan akuatik dan terrestrial serta kematian biota bukan sasaran. Kematian biota bukan sasaran merupakan efek samping insektisida karbofuran. Efek samping insektisida karbofuran dapat berupa pengurangan jumlah individu, hambatan pada aktivitas metabolisme, hambatan perilaku, dan reproduksi serta daya tetas kokon pada biota tanah (Tannock & Wessel 2003).
Pengaruh negatif insektisida karbofuran terhadap musuh alami telah banyak dilaporkan. Hong - Hyun& Lee (2009) melaporkan bahwa penggunaan insektisida karbofuran dapat mengurangi populasi musuh alami lebih dari 50%. Menurut Stark et al. 1995, Yoo et al. 1993) insektisida karbofuran sangat toksik terhadap predator dari golongan Arachnidae seperti laba - laba (Stark et al. 1995). Otieno et al. (2010) melaporkan bahwa penggunaan karbofuran secara intensif dapat meninggalkan residu, kontaminasi, dan meracuni lingkungan sehingga mengurangi populasi berbagai hewan berguna.
Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini
Sumber : Litbang Kementan RI
No comments :
Post a Comment