Saturday, May 23, 2015

Repelensi Minyak Atsiri Tehadap Hama Gudang Bawang Ephestia cautella (Walker) (Lapidoptera: Pyrallidae) di Laboratorium

Tomcat-Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta bahan obat tradisional. Di Indonesia bawang merah banyak diusahakan di dataran rendah dibanding di dataran tinggi, karena pengusahaannya lebih efisien dan kondisi agroklimatnya mendukung untuk pertumbuhan tanaman secara optimal (Suherman& Basuki 1990).

Salah satu hama gudang pada bawang merah adalah Ephestia cautella (Walker). Hama ini dikenal sebagai tropical warehouse moth. Hama ini merupakan hama utama di daerah tropik dan daerah beriklim panas. Larva E. cautella selain menyerang produk bawang juga merusak biji-bijian di gudang seperti kacang panjang, biji buncis, biji tomat, biji mentimun, kurma, biji kakao, bawang putih, bawang merah, dan buahbuahan yang dikeringkan (Dobie et al. 1991, Ashworth 1993, Subramanyam & Hagstrum 1993, Khebbeb et al. 2008, Shehu et al. 2010, Bowditch & Madden 1996, Olonisakin et al. 2006). Ngengat berwarna abu-abu dengan panjang tubuh sekitar 6 mm. Bila kedua sayap direntangkan panjangnya mencapai 17 mm, sisi atas sayap depan mempunyai semacam pita. Ngengat betina meletakkan telurnya di permukaan materia (Stratil& Reichmuth 1984). Jumlah telur yang dihasilkan selama hidupnya lebih kurang 340 butir dalam waktu 31–47 hari. Pada suhu 30°C telur akan menetas setelah 3 hari. Larva berwarna cokelat agak kotor atau cokelat kemerahan dengan bintik-bintik yang berwarna agak gelap. Siklus hidup dari telur hingga ngengat dewasa pada lingkungan ideal (suhu 32,5°C dan kelembaban 70%) memerlukan waktu 29–31 hari. Pupa berwarna putih dengan ukuran panjang 7,5 mm (Burges& Haskins 1965).

Hasil panen yang disimpan khususnya dalam bentuk umbi dan biji-bijian setiap saat dapat diserang oleh berbagai hama gudang yang dapat merugikan (Faruki & Khan 1993). Kerugian yang ditimbulkan oleh hama pascapanen ini berupa penurunan kualitas dan kuantitas yaitu kerusakan bentuk, aroma, tercampur kotoran, daya tumbuh, dan umbi bawang yang disimpan menjadi kempes (Ashworth 1993). Penelitian tentang hama gudang di gudang penyimpanan bawang merah belum banyak dilakukan.

Estimasi kerusakan yang disebabkan oleh hama gudang secara umum dapat mencapai 35% (Levinson & Levinson 1978), dan taksiran kerusakan yang disebabkan oleh E. cautella pada bawang merah yang disimpan di gudang petani di daerah Cirebon dan Brebes berkisar antara 10–40%. Sampai saat ini berbagai cara pengendalian hama di gudang yang paling banyak dilakukan adalah menggunakan insektisida sintetis. Insektisida sintetis dirasakan efektif karena penggunaannya mudah serta spektrum daya bunuhnya yang luas. Namun cara tersebut mempunyai banyak kekurangan antara lain risiko keamanan pangan (bahaya residu), timbulnya resistensi serangga hama gudang terhadap beberapa insektisida seperti malathion (Schaasfsma 1990), metylbromide (Taylor 1994, Tuncbilek et al. 2009, Azizoglu et al. 2011), dan phosphine (Zettler & Arthur 1997), residu di tanah, air, dan udara yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan hidup.

Alternatif teknologi pengendalian hama selain menggunakan insektisida sangat diperlukan oleh petani. Tuntutan ini mengikuti perkembangan permintaan pasar yang mulai mempertimbangkan keamanan produk bagi konsumen dan kesadaran untuk mengurangi kerusakan lingkungan. Teknologi yang ramah lingkungan menjadi salah satu prioritas kebutuhan. Teknologi alternatif yang mempunyai prospek untuk dikembangkan adalah dengan memanfaatkan berbagai senyawa kimia alami yang berasal dari tumbuhan (Schmutterer 1990, Musabyimana et al. 2001). Tumbuhan yang berada di alam dan akan digunakan sebagai sumber insektisida, diduga mempunyai ciri-ciri rasa pahit (mengandung alkaloid dan terpen), berbau busuk, berasa agak pedas, jarang atau tidak pernah diserang oleh hama, serta pengalaman petani organik yang menggunakan sediaan
ektrak alami dari tumbuhan beracun (etnobotanik) (Hasyim et al. 2010).

Minyak atsiri merupakan salah satu hasil proses metabolisme dalam tanaman, terbentuk karena reaksi antara berbagai persenyawaan kimia dengan air. Minyak tersebut disintetis dalam sel tanaman. Minyak atsiri dapat ditemukan pada bagian tanaman, misal pada akar (akar wangi), pada batang (kayu manis), pada kulit kayu (kayu putih), pada daun (kemangi), pada bunga (cengkeh), dan pada buah (buah pala). Fungsi minyak atsiri pada tanaman adalah memberi bau, misal pada bunga untuk membantu penyerbukan, pada buah untuk media distribusi ke biji, sementara pada daun dan batang minyak atsiri dapat berfungsi sebagai penolak serangga (Isman 2000, Huang 2000).

Pemanfaatan minyak atsiri sebagai pestisida nabati merupakan peluang yang sangat prospektif dalam pengembangan diversifikasi produk alami (natural product) yang selain bersifat lebih aman bagi kesehatan manusia, juga aman terhadap lingkungan (Dubey et al. 2010). Secara tradisional minyak atsiri telah lama digunakan untuk mengusir serangga hama biji-bijian dan kacang-kacangan di gudang penyimpanan (Olinosakin et al. 2006, Sujatha 2010). Minyak atsiri yang berasal dari tumbuhan dapat mengakibatkan satu atau lebih pengaruh pada hama seperti bersifat menolak (repellent) (Hasyim et al. 2010), menarik (attractant) (Hasyim et al. 2007), racun kontak (toxic) (Tariq et al. 2010, Chu et al. 2011, Abramson et al. 2006), racun pernafasan (fumigant) (Huang et al. 2000), mengurangi nafsu makan (antifeedant) (Arivoli & Tennyson 2013a), menghambat peletakan telur (oviposition deterrent) (Gunderson et al. 1985, Tripathi et al. 2003), menghambat pertumbuhan, mengacaukan sistem hormonal serangga, menurunkan fertilitas, serta sebagai antiserangga vektor (Dubey et al. 2008, Dubey et al. 2010, Isman 2000, Koul et al. 1990.

Minyak eucalyptus, minyak serai wangi, minyak akar wangi, minyak kayu manis, dan minyak jeruk purut diduga mengandung komponen aktif yang menimbulkan bau dan aroma yang memiliki potensi sebagai minyak atsiri sebagai insektisida untuk E. cautella.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Teknik Aplikasi Benzilaminopurin dan Pemeliharaan Jumlah Umbel Per Tanaman untuk Meningkatkan Produksi dan Mutu Benih Botani Bawang Merah (True Shallot Seed) di Dataran Tinggi

Tomcat-Biji botani bawang merah atau true shallot seed (TSS) merupakan salah satu alternatif teknologi yang potensial dikembangkan dalam rangka penyediaan benih bawang merah sepanjang tahun di Indonesia. Penggunaan TSS di Indonesia belum berkembang disebabkan belum tersedianya benih TSS maupun teknologi produksi TSS. Kendala utama dalam produksi benih TSS di Indonesia adalah masalah pembungaan dan pembentukan biji bawang merah yang masih rendah. Usaha-usaha untuk meningkatkan pembungaan bawang merah telah dilakukan di antaranya melalui mencari lokasi penanaman yang cocok, ketepatan waktu tanam serta teknik induksi pembungaan. Putrasamedja& Permadi (1994) melaporkan bahwa penanaman bawang merah di dataran tinggi Cipanas menghasilkan pembungaan di atas 70% untuk varietas Bima, Cipanas, dan Kuning. Musim kemarau merupakan waktu yang tepat untuk pembungaan dan produksi benih TSS (Rosliani et al. 2005). Untuk menginduksi pembungaan dapat dilakukan dengan perlakuan vernalisasi umbi bibit pada suhu 10oC selama 4 minggu yang disimpan di cold storage (Satjadipura 1990). Namun peningkatan pembungaan tidak selalu diikuti dengan produksi biji yang tinggi.

Salah satu usaha untuk memperbaiki produksi biji TSS dilakukan dengan menggunakan zat pengatur tumbuh (ZPT) 6-benzyladenin (6-benzylaminopurine). Zat pengatur tumbuh BAP merupakan sitokinin sintetik yang paling aktif pada berbagai proses fisiologis tanaman seperti pembelahan sel, pembesaran sel, diferensiasi jaringan, dan perkembangan fase pembungaan (Amanullah et al. 2010). Aplikasi BAP selain mendorong pembungaan, juga telah terbukti pada pembentukan buah dan biji tanaman Cajanus cajan (Barclay & McDavid 1998) dan kacang kedelai (Youngkoo et al. 2006). Hasil penelitian Rosliani et al. (2012) melaporkan bahwa aplikasi BAP dan boron dapat memperbaiki tingkat pembungaan dan viabilitas serbuk sari yang berimplikasi pada peningkatan produksi dan mutu benih TSS di dataran tinggi. Konsentrasi BAP yang optimum diperoleh pada 37,5 ppm, diaplikasikan dengan penyiraman tiga kali pada umur 1, 3, dan 5 minggu setelah tanam (MST) di dataran tinggi. Teknik aplikasi BAP untuk merangsang pembungaan selain dengan penyiraman/penyemprotan ke tanaman dapat juga dilakukan dengan teknik perendaman umbi bibit sebelum tanam. Kebutuhan BAP melalui teknik perendaman lebih sedikit dibandingkan dengan teknik penyiraman/penyemprotan ke tanaman. Hal ini disebabkan aplikasi dengan teknik perendaman selain hanya membutuhkan volume larutan sedikit juga hanya dilakukan sekali aplikasi. Namun efektivitas melalui teknik perendaman umbi bibit sebelum tanam dibandingkan dengan penyiraman/penyemprotan melalui daun dan bunga belum diketahui. Oleh karena itu teknik aplikasi BAP yang efisien dan efektif perlu dicari dalam rangka pengembangan teknik produksi TSS. untuk menghasilkan benih bawang merah di Indonesia.

Di dataran tinggi, periode pembungaan bawang merah berlangsung selama 25–30 hari dari tunas umbel muncul pertama kali sampai dengan tunas umbel muncul terakhir (Hilman et al. 2014). Umbel bunga muncul dan panen terjadi 5–6 kali. Pola pembungaan bawang merah yang terjadi adalah tahap pertama jumlah umbel yang dihasilkan sedikit dengan ukuran umbel kecil, umbel kedua sampai kelima jumlah umbel banyak dengan ukuran umbel besar, dan umbel keenam dan seterusnya jumlah umbel menurun kembali dengan ukuran bunga menurun kembali. Namun pembentukan buah dan biji pada setiap umbel semakin menurun. Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya persaingan hara dalam pembentukan buah dan biji (Shivanna & sawhney 1997). Pemeliharaan jumlah umbel diduga dapat mengurangi persaingan hara selama pembentukan buah dan biji. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui umbel ke berapa yang dapat menghasilkan produksi benih yang tinggi dengan mutu yang baik.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Pengendalian Getah Kuning Pada Buah Manggis Dengan Irigasi Tetes dan Antitranspiran Chitosan

Tomcat-Manggis (Garcinia mangostana L.) yang dijuluki sebagai queen of tropical fruits (Hume 1947, Richards 1990, Kusuma & Verheij 1994) merupakan salah satu komoditas primadona yang menjadi andalan ekspor Indonesia, dengan tujuan ekspor ke lebih dari 21 negara di dunia, di antaranya Jepang, Hongkong, China, Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam, Arab Saudi, Kuwait, Yordania, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Belanda, Prancis, Belgia, Swiss, Denmark, Italia, dan Spanyol (Kementerian Pertanian 2014)

Selama 5 tahun terakhir (2008–2012), luas panen, produksi, dan volume ekspor manggis Indonesia meningkat pesat. Pada tahun 2008, total produksi dan volume ekspor masing-masing 78.674 t dan 9.465 t, kemudian pada tahun 2012 meningkat menjadi 190.287 t dan 20.168 t (Tabel 1). Namun demikian, bila dilihat perbandingan antara produksi dan volume ekspor, Tabel 1 menunjukkan bahwa hanya 12,79% dari total produksi yang layak ekspor. Menurut Qosim (2013), gangguan penyakit getah kuning (yellow latex atau gamboge disorder) merupakan penyebab utama rendahnya kualitas buah manggis sehingga total volume ekspor menjadi relatif rendah.

Getah kuning adalah cairan atau eksudat yang keluar dari pembuluh getah kulit buah manggis (Sdoodee & Chiarawipa 2005). Gangguan getah kuning menyebakan daging buah terlumuri getah kuning dan kulit buah menjadi keras sehingga sukar dibuka (Pechkeo et al. 2007). Buah manggis yang bergetah kuning rasanya tidak enak dan pahit sehingga tidak layak ekspor (Kusuma & Verheij 1994). Kartika (2004) melaporkan bahwa getah kuning pada buah manggis dapat dibedakan menjadi getah kuning pada kulit luar buah atau pada pericarp dan getah kuning pada daging buah atau pada endocarp. Getah kuning pada daging buah (fruit aril) lebih serius dari pada getah kuning pada kulit luar buah (outer fruit skin), karena getah kuning pada daging buah bersifat mencemari bagian yang dikonsumsi sehingga rasanya pahit dan tidak layak dikonsumsi.

Penyebab terjadinya getah kuning pada buah manggis belum diketahui secara pasti. Menurut Verheij (1997), getah kuning disebabkan oleh adanya luka mekanis seperti benturan dan gesekan buah atau karena adanya tusukan serangga, misalnya oleh Helopheltis ke kulit buah dan luka mekanis tersebut menginduksi keluarnya getah dari pembuluh. Poerwanto et al. (2008) menyatakan bahwa getah kuning merupakan gejala fisiologis yang berkaitan dengan turgor sel yang menyusun kulit buah, yaitu pecahnya dinding sel akibat perubahan tekanan turgor karena perubahan lingkungan secara ekstrim. Menurut Hadisutrisno (2002), getah kuning disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum yang menyerang buah yang masih muda. Cendawan tersebut menginfeksi buah muda dengan bantuan kutu buah. Setelah masuk ke dalam buah, cendawan tersebut mengalami masa inkubasi yang cukup lama, dan baru menunjukkan gejala serangan setelah buah matang

Syah et al. (2007) melaporkan, tanaman manggis yang diberikan air secara terus-menerus selama proses perkembangan buah dengan teknik irigasi tetes, persentase buah yang bergetah kuning menurun. Disebutkan bahwa pemberian air secara terus-menerus selama fase pembuahan menyebabkan kandungan air tanah pada proses perkembangan buah tidak berfluktuasi. Dengan tidak berfluktuasinya air tanah, keberhasilan menurunkan buah yang bergetah kuning diduga berkaitan dengan stabilnya tekanan turgor sel yang menyusun kulit buah sehingga mengurangi pecahnya dinding sel karena naik turunnya turgor sel
tidak terjadi secara ekstrim.

Pemberian air irigasi dapat dilakukan dengan mudah dan murah apabila di lokasi kebun atau sekitar kebun terdapat sumber air untuk pengairan. Kenyataannya, sebagian besar perkebunan manggis di Indonesia lokasinya jauh dari sumber air sehingga penerapan teknik irigasi buatan agar tanaman terairi secara kontinyu sulit dilaksanakan. Untuk itu, perlu dicoba pemberian perlakuan antitranspiran agar pada lokasi dengan curah hujan rendah, kehilangan air karena transpirasi dapat dikurangi sehingga tekanan turgor sel kulit buah manggis tetap stabil.

Antitranspiran ialah senyawa yang diaplikasikan pada permukaan daun tanaman untuk mengurangi transpirasi atau penguapan dari permukaan daun. Antitranspiran bagi tanaman dapat berfungsi untuk menghindari stres karena kehilangan air berlebihan dan sekaligus dapat melindungi tanaman dari serangan serangga dan jamur. Menurut Kyaw-Win et al. (1991), antitranspiran ada yang bersifat sebagai inhibitor metabolik (metabolic inhibitors), ada yang bersifat menurunkan viskositas lapisan lilin daun (film-forming antitranspirants), atau kombinasi dari keduanya. Antitranspiran yang bersifat sebagai inhibitor metabolik apabila disemprotkan pada daun berfungsi mengurangi pembukaan stomata dan meningkatkan resistensi daun terhadap difusi uap air tanpa memengaruhi tingkat penyerapan CO2, sedangkan antitranspiran yang bersifat menurunkan viskositas lapisan lilin daun apabila disemprotkan pada permukaan daun maka daun permeabel terhadap CO2 dan O2, tetapi impermeabel terhadap penguapan air. Pemberian antitranspiran pada tanaman manggis diharapkan dapat memelihara kandungan air internal tanaman tetap tinggi dan stabil sehingga tekanan tugor sel tidak berfluktuatif, walaupun tanaman tidak
mendapatkan pengairan dari air irigasi.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Pengaruh Pengairan Separuh Daerah Akar Terhadap Pertumbuhan Daun dan Kualitas Hasil Jeruk Siompu

Tomcat-Jeruk Siompu merupakan salah satu jeruk keprok andalan nasional yang awalnya hanya dijumpai di Pulau Siompu Kabupaten Buton, namun sangat potensial dikembangkan di Kabupaten Buton dan sekitarnya di Sulawesi Tenggara serta daerah lainnya terutama daerah yang memiliki agroekosistem mirip dengan Pulau Siompu. Menurut masyarakat Pulau Siompu, jeruk Siompu sering dibawa ke Singapura dan Malaysia oleh pelaut Siompu dan sekitarnya. Jeruk Siompu saat ini termasuk jeruk unggulan nasional yang diharapkan menjadi salah satu solusi pemenuhan kebutuhan jeruk dalam negeri dan menjadi komoditas tujuan ekspor.

Sehubungan dengan harapan tersebut, jeruk Siompu harus dikembangkan secara serius berbasis iptek guna meningkatkan produksi dan kualitasnya. Upaya pengembangan jeruk ini masih dihadapkan kepada beberapa masalah utama yaitu masih sulit untuk meningkatkan produktivitas tanaman mendekati potensi hasilnya, akibat kondisi perubahan iklim dan kesuburan tanah, adanya serangan hama dan penyakit utama serta teknologi budidaya yang rendah seperti pengairan.

Saat ini jeruk Siompu umumnya dijumpai di Kabupaten Buton khususnya di Siompu, namun produktivitas dan kualitas buahnya masih rendah, karena berbagai kendala biofisik terutama faktor tanah dan iklim. Kondisi tanah Pulau Siompu berbatu dengan solum tanah yang dangkal sehingga tanaman jeruk pada musim kemarau sangat mudah mengalami cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan dapat memengaruhi proses metabolisme, pertumbuhan, dan produksi tanaman (Bahrun et al. 2002), mengakibatkan
bunga mengalami aborsi terutama cekaman kekeringan yang berat (Torrisi 1952 dalam Barbera et al. 1981), meskipun kekurangan air pada level tertentu akan meningkatkan kualitas buah (kadar gula). Umumnya petani membiarkan tanaman jeruknya tumbuh dengan kondisi iklim secara alamiah sehingga produksi yang dicapai sangat fluktuatif baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Pengembangan jeruk Siompu dilakukan di lahan kering sehingga sering mengalami cekaman kekeringan terutama pada musim kemarau sehingga
budidaya tanaman jeruk harus dibarengi dengan teknik pengairan yang sesuai, agar tanaman tidak mengalami cekaman kekeringan dan tanaman tumbuh secara ideal dengan produksi maksimum dan kualitas buahnya baik. Tanaman jeruk pada iklim tropis, setelah periode kemarau turun hujan atau dilakukan pengairan akan merangsang pembungaan (Shalhevet & Levy 1990).

Upaya penemuan teknik pengairan hemat air, aplikabel, dan menguntungkan sangat diperlukan dan mendesak. Salah satu teknik pengairan yang cukup prospektif dikembangkan oleh petani jeruk adalah pengairan separuh daerah akar (PSDA) atau pengeringan separuh daerah akar, yang merupakan teknik pengairan yang memberikan peluang sebagian akar atau separuhnya pada kurun waktu tertentu mengalami kondisi kering. Studi tentang PSDA telah banyak dilakukan pada skala rumah kaca maupun lapangan dan hasilnya ternyata dapat menghemat air 20–50% tanpa kehilangan hasil yang signifikan, bahkan kualitas hasil meningkat (Wahbi et al. 2005, Zegbe & Behboudian 2008, Bahrun et al. 2012). Dasar ilmu secara fisiologi pengairan separuh atau sebagian daerah akar adalah adanya intervensi signal kimiawi seperti asam absisat (ABA) dari bagian akar yang kering, yang dapat mengakibatkan stomata tertutup pada kondisi cekaman kekeringan tertentu, dan meningkatkan efisiensi penggunaan air (Liu et al. 2005). ABA tersebut dapat memengaruhi kadar glukosa dan fruktosa buah jeruk (Kojima et al. 1995). PSDA juga berpengaruh terhadap absorbsi kalium (K) dan kadar kalium dapat memengaruhi ukuran buah, kadar, dan rasa sari buah jeruk (Ashraf et al. 2010). Oleh karena itu, pengeringan separuh daerah akar memiliki potensi besar untuk bidang hortikultura terutama buahbuahan (Costa et al. 2007), karena PSDA diprediksi memiliki dampak tambahan melalui peningkatan nilai tanaman. Studi lain menunjukkan bahwa kekurangan air (water shortage) menyebabkan peningkatan jumlah gula dalam sari buah (brix) (Cruse et al.1982, Koo& Smajstrla 1985), sebaliknya cekaman kekeringan (drought) dapat meningkatkan kemasaman sari buah jeruk (Cruse et al. 1982, Kuriyama et al. 1981). Dengan demikian, aplikasi teknik pengairan separuh daerah akar yang mengkreasi sebagian akar mengalami kondisi kering dan sebagian akar lainnya mengalami kondisi basah akan sangat besar manfaatnya bagi pengembangan jeruk Siompu guna diperoleh kualitas hasil yang baik dengan penggunaan air yang efisien.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Uji Daya Hasil dan Kualitas Delapan Genotip Kentang untuk Industri Keripik Kentang Nasional Berbahan Baku Lokal

Tomcat-Kentang merupakan tanaman yang potensial untuk dikembangkan karena memunyai nilai ekonomi tinggi. Tanaman tersebut banyak diusahakan petani di dataran tinggi yang memiliki iklim dingin dan diusahakan sebagai kentang sayur. Tanaman kentang sebagai bahan baku olahan masih jarang diusahakan petani dan pengusahaannya hanya melalui kemitraan. Hal ini menyebabkan industri kentang olahan dalam negeri tidak berkembang karena kesulitan untuk mendapatkan bahan baku (Kusmana 2012a).

Berdasarkan penggunaannya, kentang dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kentang prosesing (keripik, french fries, mashed potato) dan kentang sayur. Untuk kebutuhan tersebut diperlukan karakteristik umbi kentang yang berbeda, untuk bahan prosesing perlu bentuk dan ukuran umbi tertentu, kadar pati tinggi, kadar gula reduksi rendah, dan specific gravity (Sg) tinggi. Sementara untuk kentang sayur (table potato) karakter yang penting ialah tekstur dan mealiness. Industri besar pengolah keripik kentang di Indonesia sebagai bahan baku industrinya. Benih varietas Atlantic sampai saat ini masih diimpor dari Australia, Kanada, dan Skotlandia. Benih tersebut umumnya`hanya sekali ditanam, generasi berikutnya produktivitasnya dari generasi pertama ke generasi berikutnya terus menurun karena terjadinya degenerasi sehingga sangat bergantung terhadap impor. Varietas Atlantic sangat disukai oleh pabrik karena rasa enak, rendemen hasil keripik cukup tinggi, dan hasil gorengan cukup memuaskan, namun kurang disukai oleh petani karena rentan terhadap penyakit busuk daun, rentan terhadap layu bakteri serta harga benih mahal dan sulit diperoleh.

Upaya mengganti atau mencari varietas pengganti Atlantic telah dilakukan oleh industri keripik nasional dengan cara mengintroduksi beberapa varietas kentang olahan seperti Herta, Panda, Kenebec, Russet Burbank, Hermes, Blis, dan Spunta (Basuki & Kusmana 2005). Namun sampai saat ini belum diperoleh varietas yang menyamai Atlantic. Di lain pihak Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan beberapa varietas baru kentang dan beberapa di antaranya adalah varietas kentang olahan. Namun demikian, varietas tersebut belum konsisten, suatu saat dapat masuk pabrik namun pada saat lain ditolak karena tidak masuk spesifikasi pabrik seperti persentase reject dan gula reduksi terlalu tinggi (Basuki & Kusmana 2005). Ketidakkonsistenan terjadi akibat adanya perbedaan musim dan lokasi penanaman sehingga mengakibatkan Sg rendah, kadar gula reduksi tinggi, dan tingkat kerusakan setelah digoreng tinggi (Collier et al. 1980, Dalianis et al. 1966).

Varietas Atlantic cocok dijadikan sebagai bahan baku keripik karena Sg tinggi (>1,080), kadar gula reduksi rendah, dan hasil gorengan baik (Basuki& Kusmana 2005, Kusmana 2012). Varietas Atlantic ditingkat petani kurang disukai karena rentan terhadap penyakit busuk daun, layu bakteri serta degenerasi sangat cepat. Oleh sebab itu perlu dicarikan varietas pengganti yang setara dengan Atlantic dalam hal kualitas olahannya namun lebih tahan terhadap organisme pengganggu tumbuhan (OPT) busuk daun, OPT layu bakteri, dan OPT virus. Suatu varietas agar disukai pengguna atau industri harus memiliki banyak faktor positif dan sebaliknya sedikit faktor negatifnya.

Upaya perbaikan varietas melalui hibridisasi dengan menggunakan tetua working collection Balitsa hasil introduksi dari International Potato Center (CIP) dilakukan sejak tahun 2004. Pada tahun 2005 telah dilakukan persilangan antara varietas Atlantic sebagai tetua betina dengan klon asal CIP yang memiliki latar belakang genetik resisten terhadap virus dan penyakit busuk daun dan berhasil diperoleh enam kombinasi persilangan (Kusmana & Sofiari 2007, Kusmana 2012a, Kusmana 2012b).

Kegiatan penelitian ini merupakan bagian dari penelitian adaptasi dari total tiga penelitian lapangan pada lokasi yang berbeda. Tahapan pemuliaan yang dilakukan pada tanaman kentang meliputi seleksi generasi awal pada tahapan tuber family, seleksi arsitektur tanaman, seleksi bentuk umbi, seleksi kulit umbi, seleksi kedalaman mata umbi, dan keseragaman tanaman, selanjutnya pengujian daya hasil dan kualitas Sg umbi, pati, dan kadar gula (Brown & Dale 1998, Love et al. 1997).

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Evaluasi Daya Saing Komoditas Kentang di Sentra Produksi Pangalengan Kabupaten Bandung

Tomcat-Produk pertanian Indonesia harus siap bersaing secara global karena iklim perdagangan yang semakin bebas. Posisi tawar dari berbagai komoditas pertanian harus ditingkatkan (Muslim & Nurasa 2011). Untuk dapat bersaing secara global, perlu terlebih dahulu diidentifikasi keunggulan kompetitif dan komparatif dari suatu komoditas, serta intervensi pemerintah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keunggulan dari suatu komoditas tersebut. Kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan terhadap input dan output produksi (Rum 2010). Emelda & Mapplagau (2014) melalui kajiannya mengenai daya saing dan kebijakan pemerintah terhadap pengembangan kakao Indonesia mengemukakan bahwa dukungan kebijakan dari pemerintah telah mendukung keunggulan kompetitif dan komparatif yang mengakibatkan petani mendapatkan keuntungan dan kebijakan berjalan dengan baik.

Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki rerata produksi cukup besar jika dibandingkan dengan komoditas sayuran lain, meskipun produksinya berfluktuasi setiap tahunnya. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa rerata produksi dari tahun 2009 hingga 2013 sebesar 1.082.224 t. Selain digunakan sebagai sayuran, kentang juga merupakan sumber karbohidrat alternatif yang dapat mendukung diversifikasi pangan (Haris 2010, Utami et al. 2012). Sejalan dengan itu sekitar 10% dari hasil panen kentang di dunia telah dikonversi menjadi berbagai macam produk olahan (Keijbets 2008). Banyak produk olahan kentang yang telah dikenal khususnya di Indonesia seperti kentang goreng dan keripik kentang (Asgar et al. 2011).

Food Agriculture Organization melaporkan bahwa pada tahun 2010 produksi kentang dunia sebesar 324 juta t (Deb et al. 2013). Basuki et al. (2013) mengemukakan bahwa produksi kentang nasional meningkat sebesar 16,3% selama periode 2005–2009. Namun, peningkatan tersebut lebih dikarenakan akibat perluasan lahan tanam, bukan dari meningkatnya produktivitas. Di sisi lain menurut hasil penelitian Adiyoga (2011), konsumen menyatakan bahwa konsumsi kentang meningkat 46,6% selama kurun waktu 5 tahun terakhir. Sementara produksi kentang yang berfluktuasi mengakibatkan pasokan kentang ikut berfluktuasi sehingga sebagian kebutuhan kentang nasional dipasok melalui impor.

Kentang memiliki trend pertumbuhan tinggi tetapi penetrasi pasarnya rendah sehingga membutuhkan kapital yang tinggi untuk meningkatkan pangsa pasarnya (Adiyoga 2011). Pemasaran produk kentang lokal semakin terdesak oleh komoditas kentang impor karena kesalahan selama ini yakni pola tanam yang tidak tepat dan penggunaan pestisida yang berlebihan belum dapat ditanggulangi dengan tuntas. Untuk kasus di dataran tinggi Dieng, rerata produksi saat ini hanya 5–8 t/ha, sedangkan 10 tahun yang lalu adalah 10–13 t/ha (Suharso dalam Gumbira-Said 2011). Namun, menurut Saptana et al. (2001) komoditas kentang di Wonosobo, Jawa Tengah masih memiliki keunggulan komparatif yang cukup tinggi dan juga masih memiliki keunggulan kompetitif.

Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung termasuk salah satu sentra produksi kentang di Indonesia selain dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Kerinci di Jambi, dan Curup di Bengkulu (Suharjo et al. 2010). Sentra produksi ini merupakan sentra produksi kentang terbesar di Provinsi Jawa Barat. Produksi kentang di Pangalengan untuk petani yang menggunakan benih G4 bersertifikat mencapai rerata 26.364 kg/ha/musim (Ridwan et al. 2010).

Sebagai salah satu sentra produksi kentang, perlu diidentifikasi keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani kentang di daerah ini sehingga dapat dirumuskan suatu alternatif kebijakan yang dapat diambil untuk meningkatkan daya saing usahatani kentang di daerah itu.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Perlakuan Air Panas dan Pengaturan Suhu Simpan untuk Mempertahankan Kualitas Buah Mangga (Mangifera indica L.) cv. Gedong

Tomcat-Getah menjadi salah satu penyebab menurunnya kualitas pascapanen buah mangga karena getah dapat menyebabkan buah terlihat kotor, dermatitis, dan menjadi media bagi pertumbuhan cendawan (Yuniarti & Suhardjo 1994). Upaya yang dapat dilakukan untuk menghilangkan getah yaitu dengan pencucian. Penelitian sebelumnya telah menemukan formulasi bahan pencuci yang dapat menghilangkan getah, debu, dan kotoran lain yang melekat pada buah mangga Arumanis dan Gedong yakni menggunakan larutan deterjen dan Ca(OH)2 (Poerwanto 2013).

Beberapa tahun terakhir, perlakuan panas (heat treatment) menjadi salah satu teknologi pengendalian hama dan penyakit yang banyak dilakukan pada hasil panen hortikultura. Perlakuan vapour hot treatment (VHT) dengan suhu 52–55°C selama 10 menit menjadi salah satu cara untuk mengatasi penyakit diplodia (Diplodia natalensis) yang diaplikasikan setelah buah mangga Arumanis dipanen (Deptan 2008). Pada buah mangga Gedong Gincu telah dilakukan pengendalian lalat buah menggunakan teknik VHT. Vapour hot treatment dengan suhu 46,5°C yang diikuti pelilinan dapat mempertahankan buah mangga hingga 28 hari dalam penyimpanan (Marlisa 2007). Selain itu, perlakuan panas digunakan untuk memperpanjang umur simpan buah-buahan yang didasarkan pada pengaruhnya terhadap aktivitas enzim dalam buah (Ketsa et al. 2000). Perlakuan panas sebelum penyimpanan dapat menghambat sintesis enzim yang terlibat dalam proses pemasakan buah tomat termasuk enzim yang terlibat dalam sintesis etilen (Lurie et al. 1996), yakni 1-aminocyclopropane-1-carboxylic acid (ACC) sintase dan oksidase (Zhou et al. 2002). Pembentukan etilen dari metionin yakni melalui senyawa intermedier S-adenosil-metionin (SAM) dan ACC. Perubahan SAM menjadi ACC dilakukan oleh enzim ACC-sintase, kemudian ACC dirubah menjadi etilen oleh ACC-oksidase. ACC-oksidase merupakan enzim yang labil dan sensitif terhadap oksigen, dan suhu tinggi di atas 35°C. ACC-oksidase menjadi tidak aktif akibat perlakuan panas, dan penurunan sintesis ACC-oksidase terjadi melalui penurunan m-RNA. Akibatnya, ACC meningkat tajam, sedangkan etilen mengalami penurunan (Lurie et al.1996, Lurie 1998, Sudjatha & Wisaniyasa 2008).

Hasil penelitian Ketsa et al. (2000) menunjukkan bahwa perlakuan panas pada suhu 38°C tidak dapat menghambat pemasakan buah mangga cv. Nam Dok Mai. Diduga bahwa perlakuan panas akan berpengaruh terhadap pemasakan buah mangga jika suhu ditingkatkan. Namun demikian, perlakuan panas dengan suhu 38°C dapat memperbaiki kualitas buah setelah disimpan pada suhu rendah. Selain itu, buah mangga mengalami kerusakan yang lebih rendah dibandingkan dengan buah mangga yang tidak diberi perlakuan panas.

Perbaikan kualitas buah mangga dapat dilakukan dengan mengombinasikan beberapa perlakuan pascapanen untuk mengoptimalkan pengaruhnya terhadap perubahan fisiologis yang selanjutnya dapat menghambat penurunan kualitas buah (Prawaningrum 2012). Penyimpanan pada suhu kamar dapat mempercepat proses respirasi dan meningkatkan kehilangan hasil (Napitupulu 2013). Sementara itu, Yahia & Campos (2000) menyatakan bahwa perlakuan air panas dapat menyebabkan kerusakan pada kualitas buah mangga jika perlakuan tidak diterapkan dengan baik dan buah mangga tidak segera disimpan pada suhu rendah setelah diberikan perlakuan panas. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengujian perlakuan panas dan suhu penyimpanan pada buah mangga Gedong. Aplikasi perlakuan panas dilakukan bersamaan dengan proses pencucian. Penyimpanan pada suhu rendah digunakan karena merupakan cara efektif dalam menghambat proses pemasakan jika dalam kisaran yang tidak menyebabkan chilling injury (Purwoko & Magdalena 1999). Hasil penelitian Baloch et al. (2011) menunjukkan bahwa buah mangga Langra dan Samar Baghist Caunsa yang direndam pada suhu air 15°C (precooling) kemudian disimpan pada suhu 15°C dapat menghambat perubahan warna kulit buah yang menunjukkan pemasakan buah terhambat.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Respons Ketahanan Beberapa Spesies Anggrek Terhadap Infeksi Odontoglossum Ringspot Virus

Tomcat-Anggrek merupakan salah satu tanaman hias yang banyak diminati masyarakat. Saat ini, anggrek sudah menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat perkotaan sehingga anggrek merupakan komoditas ekonomi dalam perdagangan lokal maupun internasional. Potensi pasar anggrek dalam negeri cukup besar karena jika 10% saja orang Indonesia menyukai anggrek dari total penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari
240 juta jiwa maka secara ekonomi potensinya besar.

Perkembangan produksi tanaman anggrek sejak tahun 2005 hingga 2009 cenderung meningkat. Meskipun pada tahun 2007 produksi tanaman anggrek mengalami penurunan, namun pada tahun 2008 dan 2009 produksinya kembali meningkat. Tahun 2005 produksi anggrek nasional sebesar 7.902,4 tangkai meningkat menjadi 10.903,4 tangkai, pada tahun 2006 menurun menjadi 9.484,4 tangkai dan kembali meningkat menjadi 16.205,9 pada tahun 2009 (Mattjik 2011).

Salah satu permasalahan dalam budidaya anggrek adalah infeksi oleh patogen dan salah satu di antaranya adalah virus. Virus pada anggrek sangat memengaruhi produksi secara langsung sehingga merugikan petani. Data kerugian yang ditimbulkan akibat infeksi virus pada pengusahaan anggrek di Indonesia belum pernah dilaporkan secara resmi. Namun hasil pengamatan di beberapa lokasi pengembangan anggrek menunjukkan potensi kerugian yang cukup besar mencapai 10–80% jika tidak segera dilakukan pengendalian.

Sebagai gambaran kerugian akibat infeksi virus terjadi pada ekspor anggrek dari Taiwan ke Jepang. Pemerintah Jepang pada bulan September 2007 mulai memeriksa impor Phalaenopsis untuk infeksi virus. Akibatnya lebih dari 10 pengiriman Phalaenopsis melalui kapal dari Taiwan ditolak antara bulan September–Desember 2007 sehingga mengakibatkan kerugian yang besar bagi petani di kedua negara. Petani anggrek di Taiwan mengungkapkan kerugian yang diakibatkan kebijakan tersebut melalui pemerintah kepada pihak Jepang. Hal ini kemudian menyebabkan para petani anggrek di Taiwan berpartisipasi mendesak industri anggrek untuk mengendalikan virus, melakukan kontrol kualitas, dan tidak mengekspor anggrek yang terinfeksi virus ke negara manapun (ICOGO 2008).

Tanaman anggrek dilaporkan dapat terinfeksi oleh kurang lebih 50 jenis virus (Zettler et al.1990, Chang et al. 2005, Navalienskiene et al. 2005). Salah satu jenis virus penting yang banyak menyerang anggrek dengan penyebaran yang luas di dunia adalah odontoglossum ringspot virus (ORSV) (Zettler et al. 1990, Sherpa et al. 2004). Infeksi virus ini dapat menyebabkan kehilangan hasil secara signifikan pada pengusahaan anggrek karena menyebabkan pertumbuhan terhambat dan ukuran bunga mengecil. Odontoglossum ringspot virus diisolasi dan dikarakterisasi dari spesies anggrek Odontoglosum grande yang memperlihatkan gejala ringspot pada daun. Gejala lain yang ditimbulkan adalah belang (mottle) berbentuk berlian, mosaik, dan warna bunga pecah pada Cymbidium (Jensen& Gold 1951, Zaitlin 1976). Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa ORSV menyebabkan mosaik bergaris atau bercak, diamond mottle, dan gejala ringspot pada daun (Corbett 1967, Hull 2002). Odontoglossum ringspot virus dapat menyebabkan nekrotik cokelat bergaris dan malformasi serta distorsi pada rangkaian bunga Cattleya (Afieri Jr. et al. 1991, McMillan Jr. & Vendrame 2005).

Di Singapura kejadian penyakit akibat infeksi ORSV sebesar 4%, sedangkan secara keseluruhan diperkirakan ORSV menginfeksi 14% pertanaman anggrek di dunia. Pengaruh negatif dari virus ini pada budidaya anggrek telah banyak dilaporkan di banyak negara penghasil anggrek di dunia (Francki et al. 1985, Zettler et al.1990, Wong et al. 1994, Eun et al. 2002).

Setiap tanaman memiliki tingkat ketahanan yang berbeda terhadap infeksi virus. Demikian halnya pada jenis Orchidaceae yang memiliki keragaman tingkat ketahanan terhadap infeksi virus. Secara alami tanaman telah mengembangkan beberapa strategi untuk mempertahankan diri dari infeksi/ serangan patogen. Salah satu yang paling efisien adalah respons hipersensitif (HR) berupa kematian sel terprogram yang membatasi patogen di lokasi infeksi awal (Nurnberger et al. 2004). Sistem pertahanan tanaman melibatkan gen avirulen pada virus (avr) yang dikenali reseptor gen resisten (R) pada tanaman yang kemudian mengakibatkan programmed cell death (apoptosis) pada titik infeksi, membentuk lesio lokal (respons hipersensitif) serta menginduksi SAR (systemic acquired resistance) (Atkinson 1993, Nimchuk et al. 2003).

Odontoglossum ringspot virus saat ini merupakan virus yang relatif baru ditemukan di Indonesia, walaupun di negara lain telah diketahui sejak tahun 1951 oleh Jensen & Gold (1951). Beberapa upaya pengendalian infeksi virus dilakukan melalui penggunaan tanaman tahan, penggunaan tanaman/ bibit bebas virus, dan kultur teknis untuk mengurangi penularan dan penyebaran virus (Kang et al. 2005). Tingkat ketahanan berbagai jenis anggrek komersial yang ada di Indonesia terhadap ORSV belum diketahui. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat ketahanan berbagai jenis anggrek terhadap infeksi ORSV. Informasi tingkat ketahanan anggrek terhadap ORSV penting diketahui sebagai dasar bagi penentuan upaya pengendalian dan perakitan tanaman tahan.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Deteksi Dini Penyakit Daun Kipas (Grapevine Fanleaf Virus) dan Perbedaan Gejala Pada Tiga Varietas Anggur

Tomcat-Tanaman anggur merupakan tanaman yang berasal dari negara subtropika dan sudah beradaptasi di Indonesia sejak tahun 1880. Anggur merupakan salah satu buah-buahan yang banyak disukai konsumen dalam bentuk segar maupun olahan. Tanaman anggur sudah cukup lama diusahakan oleh petani Indonesia terutama di daerah Jawa Timur sejak tahun 1882 (Winarno 1991). Saat ini komoditas anggur sangat potensial untuk dikembangkan mengingat impor buah-buahan subtropika membanjir di Indonesia. Pengembangan komoditas ini di Indonesia diharapkan akan menghemat devisa negara. Perkembangan neraca perdagangan kelompok buah segar secara umum mengalami defisit. Pada tahun 2008–2012 produksi buah anggur di Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 14,87% (Badan Pusat Statistik& Dirjen Hortikultura 2012).

Perkembangan anggur di Indonesia cukup potensial, jenis yang digemari adalah Vitis vinifera dan V. labrusca. Dalam pengembangan komoditas, organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang menggagalkan panen perlu dicermati. Akhir-akhir ini ditemukan gejala penyakit virus kipas pada tanaman anggur yang diduga disebabkan oleh grapevine fanleaf virus (GFLV). Gejala penyakit tersebut pernah ditemukan di sentra anggur Probolinggo dan Bali (Dwiastuti& Nurhadi 1986). Selain itu Purnomo (1987) menyatakan bahwa gejala penyakit GFLV ini ditemukan di berbagai sentra produksi anggur Indonesia. Menurut Andret-Link et al. (2004) penyakit ini menyebabkan penurunan hasil sampai 80%, memperpendek umur produksi, dan mempercepat kematian tanaman, dan menurut Sutic et al. (1999), penyakit ini mampu mengurangi kemampuan pengakaran dan kompabilitas sambungan. Menurut Bos (1983) GFLV tergolong dalam kelompok nematode transmitted polyhedral virus atau nepovirus. Hubungan antara nematoda dan virus yang ditularkannya bersifat sangat spesifik (Taylor & Brown 1997), tetapi tidak ditemukan korelasi antara insiden virus di lapangan dengan jumlah nematoda vektor potensial yang menyebabkan penyakit (Ploeg et al.1996).

Di Indonesia belum pernah dilakukan tindakan pengendalian terhadap penyakit GFLV meskipun kerugian akibat penyakit ini cukup besar, hal ini terjadi karena petani dan petugas pertanian kesulitan mendeteksi secara dini terhadap gejala penyakit ini. Hal ini disebabkan karena terjadinya kerancuan gejala dengan gejala keracunan senyawa kimia oleh pestisida atau gejala akibat serangan hama trips dan defisiensi unsur hara (Pearson & Goheen 1998). Metode deteksi yang dilakukan saat ini secara umum meliputi penularan virus dari tanaman terinfeksi ke tanaman sehat, melalui okulasi atau penyambungan atau dengan mengolesi permukaan daun yang sehat dengan cairan (sap) tanaman terinfeksi (Agrios 2005). Deteksi penyakit yang disebabkan oleh virus pada anggur juga dapat dilakukan melalui pengamatan terhadap batang atas yang telah berkayu, disambungkan pada batang bawah tanaman indikator dengan pengamatan selama periode deteksi sampai 3 tahun. Metode memerlukan waktu dan tenaga yang banyak. Metode deteksi secara molekuler telah dikembangkan menggunakan jaringan tanaman (Rowhani et al. 1993) atau menggunakan penanda probe untuk mendapatkan isolat spesifik GFLV pada nematoda vektor (Finetti-Sialer & Ciancio 2005), demikian juga deteksi melalui serologi menggunakan bagian tanaman terinfeksi atau nematoda vektor dengan Biotin-Avidin ELISA (Esmenjaud et al. 1993). Deteksi dengan metodemetode tersebut perkembangannya masih terbatas dengan biaya yang tinggi sehingga diperlukan metode lain yang cepat, akurat, sederhana, dan murah.

Metode deteksi dini yang relatif baru adalah dengan green grafting, yaitu penyambungan yang dikerjakan dengan batang bawah anggur yang diperoleh dari pertanaman sebelumnya (Jensen et al. 1998). Metode ini banyak dikembangkan untuk mengetahui infeksi penyakit pada hasil perbanyakan vegetatif anggur, karena mampu mendiagnosis gejala penyakit secara lebih cepat dibandingkan dengan indeksing lapangan menggunakan tanaman indikator berkayu. Menurut Rowhani (2005) belum ada metode deteksi penyakit virus pada anggur yang lengkap dan mendalam, masing-masing metode mempunyai kelemahan.

Di dalam perbanyakan bibit anggur, penangkar harus mengetahui gejala penyakit yang disebabkan oleh virus pada masing-masing varietas secara cermat. Hal ini diperlukan untuk melakukan tindakan pengendalian secara tepat. Gejala penyakit yang disebabkan oleh virus bervariasi pada jenis dan kerusakan yang ditimbulkannya. Gejala infeksi virus terkait dengan jenis virus, kepekaan varietas, dan interaksi dengan lingkungan (tanah dan iklim) (Gambino et al. 2010).
Gejala penyakit GFLV yang spesifik tiap varietas belum banyak diketahui.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Pengaruh Insektisida Karbofuran Terhadap Kerusakan dan Kehilangan Hasil Kentang Akibat Serangan Gryllotalpa hirsuta Burmeister (Ortoptera : Gryllotalpidae) Serta Dampaknya Terhadap Keanekaragaman Artropoda Tanah

Tomcat-Kentang (Solanum tuberosum) merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai arti penting bagi masyarakat, baik dilihat dari nilai ekonominya yang tinggi maupun dari kandungan gizinya. Dalam dekade terakhir, permintaan kentang untuk konsumsi dan bibit dalam negeri mengalami peningkatan. Permintaan akan kentang yang terus meningkat, perlu diimbangi dengan peningkatan produksi kentang. Salah satu permasalahan dalam meningkatkan produksi kentang di Indonesia adalah serangan hama dan penyakit yang selalu ada. Salah satu hama penting pada tanaman kentang adalah orong-orong, Gryllotalpa hirsuta (Orthoptera: Gryllotalpidae).

Sejak 3 tahun terakhir, orong - orong menjadi hama penting pada tanaman kentang dan dapat menyebabkan kehilangan hasil sebesar 40%, sedangkan pada tanaman barley menyebabkan kehilangan hasil sebesar 50% (Ramachandran & Sagar 1996). Selain menyerang tanaman kentang, orong-orong juga dapat menyerang berbagai jenis tanaman seperti tanaman pangan (padi, jagung, gandum, barley, dan sorgum), sayuran (kentang, kubis, tomat, wortel, kubis bunga, lettuce, bayam, terung, paprika, dan kacang - kacangan), buah-buahan, tanaman hias dan berbagai rerumputan (Kim 2000, Al- Jassany & Al-Joboory 2013). Hama ini dapat merusak tanaman pada berbagai fase tumbuh. Benih yang ada di persemaian pun tak luput dari serangan hama orongorong. Menurut Konar et al. (2005) kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh serangan G. africana berkisar antara 5,0–6,0% dan kerusakan umbi kentang berkisar antara 10–15%, selanjutnya Dewi (2012) melaporkan bahwa intensitas serangan G. hirsuta dapat mencapai 20% dari umbi kentang yang dipanen. Kehilangan hasil yang diakibatkan oleh OPT akan berbeda bergantung pada lokasi, musim, waktu tanam, komposisi dan kelimpahan hama, varietas yang digunakan serta faktor biotik lainnya (Ajala et al. 2010, Okweche et al. 2010).

Masalah utama dalam pengendalian G. hirsuta adalah penentuan waktu yang tepat, karena biasanya pada siang hari berada dalam tanah dan aktif pada malam hari (Setiawati et al. 2014). Selain itu populasi G. hirsuta di lapangan sangat dipengaruhi oleh musim dan perubahan tinggi rendahnya curah hujan yang berkaitan dengan kelembaban tanah. Hal ini dapat diketahui baik dari hamanya sendiri maupun tingkat kerusakan yang ditimbulkannya (Al-Jassany & Al- Joboory 2013, Setiawati et al. 2014). Oleh sebab itu, beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengendalian hama G. hirsuta antara lain tingkat populasi, kerusakan tanaman, stadia tanaman, dan iklim atau musim. Hal ini akan memengaruhi kehilangan hasil yang diakibatkannya.

Penilaian pengaruh tingkat kerusakan terhadap kehilangan hasil akibat serangan hama dapat mengungkapkan pengaruh infestasi hama, tingkat populasi hama, dan status ekonomi hama yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan tingkat kerusakan ekonomi dan atau ambang ekonomi yang akan memengaruhi tingkat penggunaan insektisida di dalam pengendalian hama sehingga rasional.

Gryllotalpa hirsuta menghabiskan hampir seluruh hidupnya di bawah permukaan tanah, oleh sebab itu pengendalian yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan insektisida yang mempunyai sifat sistemik dan broad spectrum. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa insektisida karbofuran efektif untuk mengendalikan serangga tanah termasuk G. hirsuta (Konar & Paul 2005, Konar et al. 2011, Al-Jorany & Sadik 2012) pada tanaman sayuran, padi, pisang, barley, kopi, dan tanaman hias (Otieno et al. 2010).

Karbofuran (2,3-dihidro-2,2–dimetil–7 benzofuranil metil karbamat) merupakan insektisida dari golongan karbamat, bekerja sebagai racun kontak dan lambung, bersifat sistemik serta berbentuk granul. Selain sebagai insektisida, karbofuran juga dapat digunakan sebagai nematisida. Nilai LD50 karbofuran sebesar 8–11 mg/ kg (tikus), 0,238 mg/kg (burung) dan sebesar 5,62 mg/ kg (bebek) (Mineau 2001).

Semakin intensifnya penggunaan insektisida karbofuran telah nyata pula mengakibatkan pengaruh negatif terhadap lingkungan akuatik dan terrestrial serta kematian biota bukan sasaran. Kematian biota bukan sasaran merupakan efek samping insektisida karbofuran. Efek samping insektisida karbofuran dapat berupa pengurangan jumlah individu, hambatan pada aktivitas metabolisme, hambatan perilaku, dan reproduksi serta daya tetas kokon pada biota tanah (Tannock & Wessel 2003).

Pengaruh negatif insektisida karbofuran terhadap musuh alami telah banyak dilaporkan. Hong - Hyun& Lee (2009) melaporkan bahwa penggunaan insektisida karbofuran dapat mengurangi populasi musuh alami lebih dari 50%. Menurut Stark et al. 1995, Yoo et al. 1993) insektisida karbofuran sangat toksik terhadap predator dari golongan Arachnidae seperti laba - laba (Stark et al. 1995). Otieno et al. (2010) melaporkan bahwa penggunaan karbofuran secara intensif dapat meninggalkan residu, kontaminasi, dan meracuni lingkungan sehingga mengurangi populasi berbagai hewan berguna.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Respons Jenis Perangsang Tumbuh Berbahan Alami dan Asal Setek Batang Terhadap Pertumbuhan Bibit Tin (Ficus carica L.)

Tomcat-Tanaman tin (Ficus carica L.) merupakan tanaman asli Asia Barat dan telah dibudidayakan selama ribuan tahun di Mediterania negara-negara Eropa dan Afrika Utara (Manago 2006). Budidaya tanaman tin di mancanegara telah berkembang luas terutama di Spanyol, Turki, dan Italia, tetapi di Amerika Serikat budidayanya masih terbatas. Buah tin memiliki sumber serat yang baik dan dapat membantu proses metabolisme feses dalam tubuh. Buah tin segar mengandung 1,2% serat, sedangkan yang kering mengandung 5,6% (Bolin & King 1980 dalam Pipattanawong et al. 2008).

Tanaman tin umumnya diperbanyak dengan setek, dan yang terbaik digunakan berasal dari potongan kayu yang tumbuh baik, diameter batang ± 1,5–2,5 cm, dengan pohon induk sumber tanaman berumur 2 tahun. Perbanyakan juga dapat dilakukan dengan menggunakan setek ranting berumur 1 tahun dengan jumlah cabang pertama ranting dua cabang (Schurrie 1990).

Di Israel dan beberapa tempat lain, tanaman tin varietas lokal dapat diserbuki dan menghasilkan biji pada musim panas apabila ada tanaman jantan. Oleh karena itu tanaman tin dapat diperbanyak dengan berbagai teknik, baik vegetatif maupun generatif. Jenis F. carica yang mampu menghasilkan benih dapat diperbanyak sendiri oleh petani untuk dibudidayakan (Simcha Lev-Yadun et al. 2006). Buah tin memiliki rasa manis, siap untuk dimakan ketika matang, serta mudah ditanam, dan perbanyakannya dapat dilakukan
melalui vegetatif (Mordechai 1997 dalam Mordechai et al. 2006).

Perbanyakan vegetatif tanaman tin dapat dilakukan dengan setek. Perbanyakan dengan setek ialah cara pembiakan tanaman dengan menggunakan bagianbagian vegetatif yang dipisahkan dari induknya. Pada kondisi yang menguntungkan setek akan tumbuh dan berkembang membentuk tanaman baru dengan sifat yang sama dengan pohon induknya.

Penyetekan dapat dilakukan pada tanaman tin dengan mengambil batang tin yang tidak memiliki daun, pilih dan potong dengan panjang 8–12 inci (20–30 cm), kemudian ditanam dengan hanya beberapa mata tunas (4–6 mata tunas) keluar dari permukaan tanah (Anonim 2005). Hasil penelitian Pipattanawong et al. (2008) menunjukkan bahwa perbanyakan tin dengan setek batang yang ditempatkan di dalam plastik pavilion dapat meningkatkan jumlah tunas dan akar yang muncul lebih awal dibandingkan tanpa plastik pavilion. Hal ini mungkin karena penggunaan plastik pavilion dapat meningkatkan suhu yang membantu pembentukan kalus untuk induksi tunas dan akar pada perbanyakan tin secara setek di daerah dingin.

Selain perlakuan pembungkusan dengan plastik, pembentukan akar pada setek juga sangat dipengaruhi oleh adanya zat pengatur tumbuh (ZPT) golongan auksin dan untuk pembentukan tunas dipengaruhi oleh sitokinin. Air kelapa merupakan salah satu bahan alami yang mengandung hormon sitokinin 5,8 mg/l, auksin 0,07 mg/l, dan giberelin serta senyawa lain (Bey et al. 2006). Senyawa lain yang terdapat dalam air kelapa adalah protein, lemak, mineral, karbohidrat, bahkan lengkap dengan vitamin C dan B kompleks (Susilo 1996 dalam Ningsih et al. 2010). Menurut Gardner et al. (1991 dalam Ningsih et al. 2010), protein dan karbohidrat dibutuhkan tanaman sebagai cadangan makanan, lemak dibutuhkan tanaman sebagai cadangan energi, mineral sebagai bahan penyusun tubuh tanaman, dan vitamin C dan B kompleks berperan di dalam proses metabolisme.
Dengan demikian, air kelapa dapat dimanfaatkan untuk memacu pertumbuhan baik pertunasan maupun perakaran pada berbagai jenis tanaman.

Selain sitokinin dan auksin, air kelapa juga mengandung giberelin dalam konsentrasi rendah. Giberelin mampu mempercepat perkecambahan biji kopi (Murniati & Zuhri 2002), mempercepat pembentukan bulatan-bulatan seperti gelembung (bentukan bulat yang siap membentuk pucuk dan akar sebagai awal perkecambahan) pada biji anggrek bulan (Bey et al. 2005).

Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk perakaran adalah auksin, namun relatif mahal dan sulit diperoleh. Sebagai pengganti auksin sintetis dapat digunakan bawang merah (Ependi 2009 dalam Muswita 2011). Bawang merah mengandung minyak atsiri, sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin, flavonglikosida, kuersetin, saponin, peptida, fitohormon, vitamin, dan zat pati (Anonim 2008 dalam Muswita 2011). Selanjutnya Anonim (2009 dalam Muswita 2011) menambahkan bahwa fitohormon yang dikandung bawang merah adalah auksin dan giberelin. Penggunaan bawang merah sebagai ZPT telah dilakukan pada beberapa jenis tanaman. Setyowati (2004 dalam Muswita 2011), melaporkan bahwa pemberian ekstrak bawang merah dengan konsentrasi 75% memberikan hasil terbaik untuk pertumbuhan panjang akar, panjang tunas, dan jumlah tunas pada setek mawar.

Hasil penelitian Sudaryono & Soleh (1994), menyatakan bahwa bawang merah dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan akar dan proses pencangkokan anakan tanaman salak. Kasijadi et al. (1999) juga berpendapat bahwa penggunaan limbah bawang merah 75 g/cangkok untuk induksi akar dapat meningkatkan keberhasilan cangkok sebesar 10% pada cangkokan anakan salak.

Ada sejenis ZPT perangsang akar, yaitu Rootone-F, yang dapat merangsang perakaran setek, karena mengandung auksin sintetis. Wiratri & Nura (2005) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa untuk induksi akar dari setek pucuk yaitu berasal dari perlakuan perendaman selama 24 jam dalam larutan Rootone-F 100 ppm.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani Bawang Merah (True Shallot Seed) Dengan Introduksi Serangga Penyerbuk

Tomcat-Penggunaan benih botani (true shallot seed/ TSS) dalam produksi bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum B.) lebih menguntungkan daripada penggunaan umbi bibit karena TSS dapat meningkatkan produktivitas tanaman sampai 100% dibandingkan dengan penggunaan umbi (Basuki 2009). Selain itu TSS tidak atau lebih sedikit membawa penyakit tular benih daripada umbi bibit. Penggunaan TSS sebagai bahan tanam untuk produksi umbi di kalangan petani bawang merah masih sangat rendah, di antaranya karena ketersediaan TSS di pasar yang masih rendah terutama untuk varietas-varietas lokal yang sesuai dengan preferensi petani maupun konsumen seperti Bima Brebes/Curut, Maja, Kuning, Batu Ijo, dsb. serta teknologi pembibitan yang lebih praktis perlu disosialisasikan kepada penangkar benih maupun produsen umbi bawang merah. True shallots seed varietas Tuk Tuk yang diproduksi besar-besaran oleh perusahaan benih swasta tidak berkembang karena memiliki karakteristik yang kurang menarik seperti warna pucat dan aroma kurang tajam serta tidak tahan hujan.

Teknologi produksi TSS masih dalam proses pengembangan, menyebabkan produksi TSS belum dapat memenuhi kebutuhan akan bahan tanam bawang merah. Salah satu kendala dalam produksi TSS adalah persentase pembungaan dan pembentukan kapsul maupun biji (seed set) yang rendah. Perlakuan vernalisasi pada umbi yang dikombinasikan dengan pemberian benzil amino purin (BAP) dan boron baik di dataran tinggi maupun dataran rendah menghasilkan persentase pembentukan kapsul (fruit set) di dataran tinggi sekitar 53% dengan pembentukan biji (seed set) sekitar 81% (Rosliani et al. 2012), sementara di dataran rendah masingmasing hanya mencapai 37% dan 69% (Rosliani et al. 2013). Penelitian ini dilaksanakan dalam upaya untuk meningkatkan persentase pembentukan buah (kapsul) dan biji dengan meningkatkan keberhasilan penyerbukan.

Bawang merah termasuk tanaman genus Allium group agregatum dan satu jenis dengan bawang bombay yang merupakan tanaman menyerbuk silang, karena organ jantan dan betina dalam satu bunga tidak masak pada saat yang sama (Currah& Proctor 1990). Menurut Gure et al. (2009), secara alami persentase penyerbukan sendiri pada tanaman bawang bombay sangat rendah, hanya sekitar 9%. Lebah dilaporkan memainkan peranan penting dalam membantu penyerbukan silang tanaman bawang, yakni memindahkan serbuk sari dari antera satu bunga ke kepala putik bunga lain yang sedang reseptif (Yucel & Duman 2005, Kameyama & Kudo 2009). Selanjutnya Yucel & Duman (2005) melaporkan bahwa lebah madu A. mellifera merupakan serangga penyerbuk yang efektif dalam meningkatkan produksi biji bawang bombay. Untuk memperoleh penyerbukan yang memadai dalam produksi benih bawang bombay diperlukan paling sedikit 12–15 koloni lebah per hektar.

Sajjad et al. (2008) melaporkan bahwa selain lebah, serangga pengunjung bunga bawang bombay yang utama adalah beberapa jenis lalat. Namun demikian, menurut Gure et al. (2009) lebah mempunyai kelebihan sebagai penyerbuk bawang bombay karena aktivitasnya yang tinggi dalam meningkatkan penyerbukan silang sehingga hasil dan mutu benih meningkat sebagaimana ditunjukkan oleh viabilitas dan bobot benih. Sementara pada tanaman bawang merah, lalat hijau merupakan satu-satunya serangga penyerbuk yang biasa digunakan dalam produksi TSS. Selain perannya dalam membantu penyerbukan, cukup produktif juga kemudahan dalam pengelolaan dan perbanyakannya, sedangkan lebah yang efektif pada produksi biji bawang bombay belum pernah dicoba pada produksi biji bawang merah/TSS. Pada tanaman bawang merah, jenis dan perilaku serangga penyerbuk serta efisiensinya dalam membantu penyerbukan bunga belum teridentifikasi secara jelas.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Pengaruh Media dan Penyungkupan Terhadap Daya Tumbuh Benih Jeruk Bebas Penyakit Hasil Penyambungan Meristem Tip In Vitro

Tomcat-Patogen yang menyerang jeruk sering tidak menimbulkan gejala, tetapi menyebabkan risiko kematian. Virus serta patogen lainnya yang menyerang jeruk di Indonesia adalah tristeza, psorosis, exocortis, cachexia serta citrus vein phloem degeneration/CVPD (Huang Lungbin). Eliminasi virus merupakan langkah strategis untuk produksi induk bebas penyakit yang menghasilkan benih bermutu tinggi Teknologi eliminasi atau pembersihan tanaman jeruk yang terinfeksi penyakit pada awalnya dilakukan oleh Navarro et al. (1975) dengan metode yang disebut shoot tip grafting (STG), yaitu dengan menyambung batang bawah berumur 2 minggu dengan batang atas berupa jaringan meristem berukuran 0,14–0,18 mm secara in vitro. Tanaman hasil STG yang telah tumbuh, diaklimatisasikan dan bila pertumbuhannya telah mencapai ukuran yang optimal, tanaman dapat diambil sampel daunnya untuk diindeksing kandungan penyakitnya.

Teknologi ini sampai sekarang masih digunakan dengan berbagai modifikasi. Dari berbagai penelitian, didapat bahwa pembersihan melalui teknologi sambung meristem in vitro tersebut, terbukti secara efektif dapat mengeliminasi semua penyakit jeruk yang berasal dari patogen yang terbawa pada saat proses penyambungan, walaupun tingkat keberhasilan bervariasi antara 60% (tatterleaf, psorosis) sampai 100% (citrus viroids, S. citri), sedangkan untuk citrus tristeza virus (CTV) di Pakistan keberhasilannya lebih dari 90% (Abbas et al. 2008). Dikombinasikan dengan pemanasan, metode ini juga berhasil mengeliminasi ICRsV (indian citrus ringspot virus) pada jeruk cv Kinnow (C. nobilis x C. deliciosa Tenora) (Sharma et al. 2007).

Di Indonesia, teknologi penyambungan meristem diaplikasikan pada pelaksanaan program penyediaan benih jeruk bebas penyakit sejak tahun 1985. Selain di Indonesia, metode ini juga dikembangkan di berbagai sentra produksi jeruk di dunia seperti China (Ruilin et al. 1996), Pakistan (Naz et al., 2007), Italy (Continella et al. 1997) dan Cyprus (Kapari-Isaia et al. 2002). Selain pada tanaman jeruk, metode penyambungan meristem juga diterapkan pada tanaman aprikot (Deogratias et al. 1991), kapas (Luo & Gould 1999), Prunus avium L. (cherry) var. Seeyahe Mashad (Amiri 2006), anggur (Duran et al. 1988), manggis (Chabukswar & Deodhar 2006) serta apel dan pir (Toma & Mosleh 2010).

Selama dua dekade terakhir, metode ini telah diterapkan di Indonesia, tetapi ditemukan dua masalah penting, yaitu tingkat keberhasilan tanaman yang tumbuh masih relatif rendah, yaitu hanya mencapai 23% dan 34% untuk masing-masing tanaman hasil sambung yang dorman dan berkembang normal (Triatminingsih et al. 1992 & Devy et al. 1995). Masalah lain adalah lamanya pertumbuhan tanaman regrafting di rumah pembibitan untuk diambil daunnya sebagai bahan pengujian indeksing. Umumnya tanaman akan mempunyai jumlah daun berkisar antara 10–15 buah dalam waktu 6–8 bulan setelah regrafting.

Untuk itu perlu upaya perbaikan teknologi agar ketersediaan benih induk jeruk bebas penyakit lebih banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat.
Namun, penelitian untuk meningkatkan persen keberhasilan sambung meristem ini belum banyak yang dipublikasikan. Dari publikasi yang ada, peningkatan keberhasilan dapat diupayakan dengan penambahan kadar sukrose (Naz et al. 2007) dan zat pengatur tumbuh BA pada media pertumbuhan (Abbas et al. 2008), perlakuan perendaman shoot pada larutan 2,4 D atau Kinetin sebelum grafting (Edriss 1984) serta dengan penggunaan batang bawah yang beragam (Sertkaya 2004, Ekta & Jogdande 2008).

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Pengaruh Mutagen Etil Metan Sulfonat Terhadap Regenerasi Tunas Pada Dua Genotip Manggis Asal Purwakarta dan Pandeglang

Tomcat-Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropik asli Indonesia yang disenangi konsumen baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Manggis dikenal sebagai ratunya buah atau queen of tropical fruit karena tekstur buah yang menarik dan kelezatan rasanya yang khas (Cox 1976). Selain itu, kulit buah manggis telah lama dimanfaatkan sebagai obat-obatan di antaranya sebagai anti inflamasi (Chen et al. 2008), anti bakteri (Chomnawang et al. 2009) serta antioksidan (Jung et al. 2006).

Produksi manggis nasional mencapai 117.595 t pada tahun 2011 meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2008 dan 2010. Produktivitas manggis dari tahun 2006 sampai dengan 2011 pun stagnan berkisar 8 t/ha. Namun, volume ekspor manggis dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Terbukti pada tahun 2006 hanya 5.697 t meningkat menjadi 12.603 t pada tahun 2011 dengan nilai 9,9 juta $US (Rp 94 miliar) dengan pangsa pasar utama adalah Hongkong. Selain itu, manggis asal Indonesia juga diekspor ke Tiongkok, Singapura, Malaysia, dan Timur Tengah (Kementerian Pertanian 2013).

Tanaman manggis termasuk tanaman apomiksis obligat, biji tidak berasal dari hasil fertilisasi tetapi berkembang dari embrio adventif secara aseksual (Sobir & Poerwanto 2007), sehingga diduga memiliki keragaman genetik yang rendah (Cox 1976). Pemuliaan mutasi dapat digunakan untuk tanaman yang mengalami masalah dalam rekombinasi genetik melalui hibridisasi, seperti apomiksis, sterilitas, dan inkompatibilitas (Broertjes & Harten 1988). Pemuliaan mutasi secara nyata dapat meningkatkan keragaman genetik pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif atau apomiksis (Sleper & Poehlman 2006). Pemuliaan tanaman manggis diarahkan untuk mendapatkan sifat pertumbuhan cepat, masa juvenil pendek, produktivitas tinggi, kualitas buah yang baik, dan tahan terhadap hama dan penyakit (Ramage et al. 2004).

Frekuensi mutasi dapat ditingkatkan melalui teknik induksi mutasi. Induksi mutasi digunakan untuk memperbaiki karakter agronomi penting tanaman buahbuahan seperti ukuran tanaman, waktu pemasakan, perubahan warna buah, dan self compability (Donini 1982). Teknik induksi mutasi pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif lebih efektif karena dapat mengubah satu atau beberapa karakter tanpa mengubah karakteristik kultivar asalnya (Nagatomi 1996).

Variabilitas baru dan keragaman genetik yang luas dapat tingkatkan melalui induksi mutasi dengan menggunakan mutagen kimia seperti etil metan sulfonat (EMS). Mutagen tersebut digunakan untuk meningkatkan frekuensi munculnya tanaman mutan. Induksi mutasi pada tanaman dengan EMS dapat menyebabkan mutasi pada DNA tanaman yang akan memberikan pengaruh perubahan morfologi pada tanaman tersebut. Senyawa EMS merupakan senyawa alkil yang berpotensi sebagai mutagen untuk tanaman tingkat tinggi. Dibandingkan dengan mutagen kimia lainnya EMS paling banyak digunakan karena mudah dibeli, murah harganya, dan tidak bersifat mutagenik setelah terhidrolisis (Harten 1998). Peningkatan keragaman genetik tanaman dengan induksi EMS telah berhasil dilakukan pada berbagai spesies tanaman, seperti tembakau, kubis bunga (Mangal& Sharma 2002), pisang (Roux 2004), dan Brassica napus (Schierholt et al. 2001).

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Organogenesis Bunga Aksis Pisang Bergenom AAB dan ABB

Tomcat-Tanaman pisang merupakan tanaman herba, banyak terdapat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Jenis pisang di Indonesia sangat beragam, yang merupakan pisang liar yaitu Musa acuminata dan M. balbisiana serta hasil persilangan antarsesama atau keduanya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Hasil persilangan tersebut membentuk kombinasi genom AA, BB, AB, AAB, ABB, AAA, BBB, AABB, dan ABBB (Simmonds & Shepherd 1955, Valmayor et al. 2000, Heslop-Harrison 2011).

Koleksi secara ex-situ di lapangan berisiko terhadap hilangnya plasma nutfah disebabkan oleh faktor biotik dan faktor abiotik (Panis 2009). Faktor biotik merupakan organisme pengganggu tanaman pisang yang menyebabkan penyakit layu fusarium, layu bakteri, bercak sigatoka, kerdil bunchy top, dan gall nematoda. Faktor abiotik ialah kondisi lingkungan pertanaman yang dapat menyebabkan cekaman, antara lain kekeringan, kemasaman, dan salinitas (Daly et al. 2006).

Penyimpanan secara in vitro merupakan teknologi yang dapat diterapkan. Teknologi penyimpanan secara in vitro memiliki kelebihan daripada penyimpanan secara konvensional, yaitu memerlukan area, tenaga, waktu, dan biaya yang relatif lebih kecil sehingga penyimpanan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Sebelum aplikasi penyimpanan in vitro, sistem regenerasi perlu dikuasai terlebih dahulu. Kultur in vitro melalui jalur organogenesis telah banyak dilaporkan dan eksplan yang biasa digunakan adalah anakan atau suckers (Khalil et al. 2002, Roy et al. 2010). Organogenesis melalui bunga jantan juga telah dilakukan (Darvari et al. 2010, Sultan et al. 2011). Regenerasi melalui scalp juga telah dilaporkan (Elhory et al. 2009) dan melalui meristem apikal (Al Amin et al. 2009). Dilaporkan bahwa regenerasi tanaman pisang dipengaruhi oleh genotip tanaman. Studi organogenesis pisang menggunakan bunga aksis masih cukup terbatas (Krikorian et al. 1993, Martin 2005).

Selain kendala kontaminasi, pencokelatan juga menjadi faktor penghambat dalam kultur in vitro pisang, khususnya yang mengandung genom B (Resmi & Nair 2011). Pencokelatan yang terjadi selama kultur in vitro dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan biakan atau bahkan menimbulkan kematian.

Pada regenerasi pisang, selain modifikasi media melalui penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT), tipe eksplan juga dapat memengaruhi keberhasilan kultur in vitro pisang. Pada umumnya, sucker digunakan sebagai sumber eksplan. Pada penelitian ini digunakan jenis eksplan lainnya, yaitu bunga aksis yang diharapkan dapat mengatasi masalah pencokelatan dan rendahnya faktor multiplikasi tunas. Bunga aksis pisang ialah jaringan meristematik yang masih aktif membelah dan tidak adanya kontak dengan tanah sehingga pertumbuhan biakan pisang yang bergenom AAB dan ABB dapat dioptimalkan.

Selengkapnya dapat mengunduh disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Teknologi Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan Pada Budidaya Kentang Toleran Suhu Tinggi

Tomcat-Kentang (Solanum tuberosum L.) berpotensi dikembangkan sebagai sumber karbohidrat untuk menunjang diversifikasi pangan, komoditas ekspor, dan bahan baku industri pengolahan. Namun demikian, mengingat karakteristik tanaman kentang yang beradaptasi baik di dataran tinggi maka hal penting yang perlu diantisipasi adalah dampak negatif terhadap sumber daya alam akibat upaya peningkatan produksi (Adiyoga 2009). Oleh karena itu pengembangan kentang ke dataran yang lebih rendah merupakan salah satu langkah yang dapat ditempuh.

Sampai saat ini pengembangan kentang di dataran medium (300–700 m dpl.) mengalami berbagai kendala, salah satu di antaranya adalah serangan
organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas hasil panen. Basuki et al. (2013) melaporkan bahwa pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 di dataran medium (680 m dpl.), kutudaun, trips, dan penyakit busuk daun fitoftora menjadi OPT utama yang menurunkan produksi sebesar 37,2%. Soesanto et al. (2011) melaporkan bahwa patogen tular tanah yang umum menyerang kentang ialah Phytophthora, Fusarium, dan Ralstonia, yang masing-masing menyebabkan penyakit busuk daun, layu fusarium, dan layu bakteri. Kehilangan hasil yang diakibatkan oleh serangan penyakit tersebut dapat mencapai 90%. Selanjutnya dilaporkan pula bahwa peningkatan kepadatan patogen tular tanah tersebut searah dengan penurunan ketinggian tempat. Selain itu tingginya suhu di dataran medium juga menjadi kendala. Levy & Veilleux (2007) menyatakan bahwa suhu tanah optimum untuk pembentukan umbi kentang berkisar antara 15–18oC, suhu tanah dan udara yang tinggi menurunkan hasil.

Balai Penelitian Tanaman Sayuran telah mendapatkan beberapa klon kentang toleran suhu tinggi hasil adaptasi dari Peru. Dua di antara klon-klon tersebut adalah CIP 394614.117 dan CIP 392781.1 yang mampu berumbi pada ketinggian tempat 500–600 m dpl. (Sofiari et al. 2007, Handayani 2009). Untuk mengembangkan klonklon tersebut di dataran medium diperlukan teknologi budidaya baik kultur teknis maupun pengendalian OPT yang mendukung kedua klon tersebut berproduksi optimum. Penerapan teknologi PHT pada budidaya kentang varietas Granola di dataran medium yang meliputi teknologi kultur teknis (penggunaan mulsa jerami, penanaman dengan sistem baris ganda, dan pemupukan berimbang) serta penerapan ambang pengendalian OPT telah mampu mengurangi penggunaan pestisida lebih dari 70% dengan produktivitas mencapai 21,44 t/ha (Basuki et al. 2013). Untuk mengatasi serangan bakteri R. solanacearum pada budidaya paprika digunakan larutan bakterisida oxytetrasiklin dengan konsentrasi 1 ml/l sebagai perlakuan media tanam (Moekasan et al. 2011). Pengendalian penyakit layu bakteri pada kentang menggunakan bakterisida yang bersifat antiseptik dilakukan oleh Shekhawat et al. (1990) dan berhasil menekan penyakit tersebut.

Penelitian bertujuan merakit teknologi pengendalian OPT yang dikombinasikan dengan penggunaan klon toleran suhu tinggi, untuk mendukung budidaya kentang di dataran medium. Hipotesis yang diajukan adalah dengan penerapan teknologi pengendalian PHT, klon-klon toleran suhu tinggi yang diuji dapat berproduksi optimum.

Untuk lebih lengkapnya dapat mengunduh filenya disini atau disini

Sumber : Litbang Kementan RI

Friday, May 22, 2015

Teknologi Mina Padi Jarwo 2:1

Tomcat Friend-Setelah sebelumnya pada awal tahun 2015 heboh dengan sebuah foto tanaman padi yang ditambah dengan memelihara ikan di sawah tersebut, atau disebut juga dengan mina padi. Teknologi mina padi sudah lama dipublikasikan, namun karena faktor keamanan pengembanganya tidak terlalu pesat seperti teknologi budidaya padi lainnya. untuk lebih mengingat kembali mengenai foto yang menghebohkan dari yogyakarta ini berikut fotonya.

Sahabat tomcat setelah melihat foto tersebut mungkin akan penasaran mengenai bagaiman teknologi budidaya mina padi sendiri. lantas apa keuntungan dari mina padi sendiri? dengan menanam padi dan ikan di lahan yang sama, maka akan mendapatkan hasil berupa padi dan ikannya pula. apakah mina padi dapat diterapkan? jawabannya bisa, asalkan mengikuti standar yang telah dipublikasikan oleh pihak terkait, dalam hal ini kementrian pertanian.

Teknis penerapan teknologi mina padi untuk pemilihan varietas sendiri disarankan menggunakan varietas ciherang, IR 64, dan varietas lokal cempo merah. sedangkan untuk jenis ikan yang digunakan adalah jenis ikan air tawaar nila.

Menurut frans penyuluh pertanian yang membina kelompok yang mengembangkan mina padi, dengan sistem jarwo (jajar legowo) 2:1 yang sanagat direkomendasikan baik dalam budidaya padi secara utuh, dalam mina padi dapat pula diterapkan, dengan harapan jarak antar tanaman dari jarwo 2:1 ini akan menjadi tempat hidup ikan nila. berdasarkan pengamatan frans yang telah mendapatkan ilmu dari pelatihan di BB sukamandi tahun 1993, dengan penggunaan jaro 2:1 dapat meningkatkan hasil padi 33%. selain itu produksi ikan juga meningkat karena banyaknya lorong dari jarwo 2:1.

Frans yang merupakan penyuluh di Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) wilayah V ini menjelaskan bahwa ada dua konsep pola budidaya mina padi, yang pertama pendederan yaitu pemanenan dilakukan pada saat ikan mencapai ukuran bibit.

Pada konsep ini selama masa tanam padi empat bulan dapat memanen ikan 2 – 3 kali. Konsep selanjutnya adalah pembesaran yaitu pemanenan dilakukan pada saat ikan mencapai ukuran konsumsi dimana selama masa tanam padi dapat memanen ikan satu kali.

Hingga saat ini, penyuluh yang bertugas untuk Kecamatan Pakem ini telah berhasil membina 12 kelompok yang mengelola lahan mina padi seluas 7 ha. selain dikembangkan dengan ikan, juga telah mengembangkan sistem ugadi atau udang galah dan padi.

BPTP Jogjakarta sendiri telah mulai mengintroduksikan varietas unggul Inpari 30 yang lebih toleran rendaman agar hasil mina padi tersebut dapat semakin meningkat.

Menarik bukan Tomcat Friend mengenai teknologi dari mina padi yang dipadukan dengan jarwo 2:1 yang telah teruji. namun sekali lagi tidak semua kondisi lahan dapat melaksanakan teknologi mina padi ini, lokasinya harus tersedia air yang cukup serta keamanan yang harus diperhatikan.

Sumber : Litbang Kementrian Pertanian